BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia sangat rentan untuk terkena serangan infeksi, maka dari itu diperlukan pertahanan tubuh. Pertahanan tubuh merupakan fungsi fisiologis yang sangat penting bagi makhluk hidup. Apabila pertahanan tubuh dapat berjalan dengan baik, maka makhluk hidup dapat berkembang dan berproduksi secara optimal. Tetapi apabila pertahanan tubuh tidak berjalan dengan baik, maka akan sangat rentan terhadap serangan infeksi penyakit-penyakit yang akan menyebabkan terganggunya fungsi di dalam tubuh sehingga dapat menghambat perkembangan serta menyebabkan gangguan kesehatan.
Pertahanan yang terdapat dalam tubuh adalah sistem imunitas atau sistem kekebalan. Sistem kekebalan ini adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mampu mendeteksi serta membunuh patogen-patogen yang masuk ke dalam tubuh. Selain itu mampu mendeteksi pengaruh biologis yang berasal dari luar, membunuh bakteri,virus dan cacing yang akan mengganggu fungsi tubuh, sehingga tubuh akan dapat terlindungi sehingga jaringan di dalam tubuh tetap dapat berfungsi dengan baik.
Tujuan
Untuk mengetahui pengertian immunonutrien
Untuk mengetahui pengertian immunosuppression
Untuk mengetahui jenis zat gizi immunosuppression terhadap status kesehatan
Untuk mengetahui mengenai keracunan pangan
Untuk mengetahui faktor penyebab dan prevalensi masalah immunosuppression
Untuk mengetahui upaya intervensi penanggulangan masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Immunonutrien
Immunonutrien adalah proses pemberian nutrisi spesifik yang secara potensial dapat memodulasi aktivasi daripada sistem imunitas tubuh. biasanya dihubungkan erat dengan usaha untuk meningkatkan status klinik pasien yang kritis serta dalam proses pembedahan dan sangat membutuhkan asupan nutrisi tambahan eksogen baik melalui jalur parenteral atau enteral. Target utamanya adalah untuk memperkuat fungsi pertahanan mukosa, respon imun seluler dan antibodi serta terhadap terjadinya inflamasi lokal maupun sistemik.
Immunosuppression
Secara harfiah, immunosuppression dapat diartikan “menekan respon imun”. Immunosuppression melibatkan tindakan yang mengurangi aktivasi atau kemanjuran dari sistem kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh atau imun yang memiliki respon yang terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri dan orang lain yang menyerang dari bagian tubuh. Sehingga dalam kondisi disfungsi imun berhubungan dengan infeksi.
Beberapa bagian dari sistem kekebalan tubuh itu sendiri memiliki efek immuno yang menekan pada bagian lain dari sistem kekebalan tubuh, dan immunosuppresion dapat terjadi sebagai reaksi negatif terhadap pengobatan kondisi lainnya. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined immunodeficiency atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Defisiensi sistem imun merupkan penyebab utama menurunnya pertahanan tubuh terhadap antigen. Defisiensi imun dapat disebabkan karena infeksi virus, hipersensitivitas, mutasi genetik pada sistem imun, faktor psikologi dan usia.
Immunosuppression merupakan kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Gangguan sistem imun meliputi gangguan limfosit T dan B, gangguan makrofag (inflamasi), gangguan sistem komplemen maupun gangguan imunitas sistemik. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolik dan menurunnya absorpsi zat gizi.
Jenis Zat Gizi Immunosuppression terhadap Status Gizi dan Kesehatan
Secara umum diterim bahwa gizi merupakan salah satu determinan penting respon imunitas. Penelitian epidemiologi dan klinis menunjukkan bahwa kekurangan gizi menghambat respon imunitas dan meningkatkan resiko penyakit infeksi. Sanitasi dan higiene perorangan yang buruk,kepadatan penduduk yang tinggi, kontaminasi pangan dan air, dan infeksi. Berbagai penelitian yang dilakukan selama kurun waktu 35 tahun yang lalu membuktikan bahwa gangguan imunitas adalah suatu faktor antara (intermediate factor) kaitan gizi dengan penyakit infeksi.
Energi dan Protein
Vitamin
Vitamin A
Vitamin E
Vitamin C
Mineral
Selenium
Seng
Keracunan Pangan
Pangan adalah kebutuhan dasar setiap insan manusia yang paling hakiki yang idak dapat dihindari untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di muka bumi. Karena pangan inilah manusia dapat tumbuh dn berkembang baik fisik maupun mental. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Keracunan pangan yaitu masuknya atau adanya kandungan zat-zat berbahaya yang ada di dalam bahan pangan sehingga merusak atau mengurangi fungsi dari bahan pangan tersebut. Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadinya keracunan pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan catering, bahkan pangan segar. Terdapat tiga faktor kunci yang umumnya menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan akibat bakteri, yaitu kontaminasi – bakteri patogen harus ada dalam pangan; pertumbuhan – dalam beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk menimbulkan penyakit; daya hidup (survival) – jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri patogen harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan dan pengolahannya.
Keracunan pangan dapat disebabkan karena bakteri patogen. Bakteri dapat menyebabkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu intoksikasi dan infeksi.
1. Intoksikasi
Keracunan pangan yang disebabkan oleh produk toksik bakteri patogen (baik itu toksin maupun metabolit toksik) disebut intoksikasi. Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin jika pangan ditelan, maka toksin tersebut yang akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya. Beberapa bakteri patogen yang dapat mengakibatkan keracunan pangan melalui intoksikasi adalah:
a) Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri yang berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-positif, bersifat aerobik, dan dapat membentuk endospora. Keracunan akan timbul jika seseorang menelan bakteri atau bentuk sporanya, kemudian bakteri bereproduksi dan menghasilkan toksin di dalam usus, atau seseorang mengkonsumsi pangan yang telah mengandung toksin tersebut.
Ada dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu toksin yang menyebabkan diare dan toksin yang menyebabkan muntah (emesis).
Gejala keracunan:
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab diare, maka gejala yang timbul berhubungan dengan saluran pencernaan bagian bawah berupa mual, nyeri perut seperti kram, diare berair, yang terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi pangan.
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin
penyebab muntah, gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar.
Bakteri penghasil toksin penyebab muntah bisa mencemari pangan berbahan beras, kentang tumbuk, pangan yang mengandung pati, dan tunas sayuran. Sedangkan bakteri penghasil toksin penyebab diare bisa mencemari sayuran dan daging.
Tindakan pengendalian khusus bagi rumah tangga atau penjual makanan terkait bakteri ini adalah pengendalian suhu yang efektif untuk mencegah pertunasan dan pertumbuhan spora. Bila tidak tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak pangan dalam jumlah yang sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan dengan sindrom muntah bersifat resisten terhadap panas dan pemanasan berulang, proses penggorengan pangan juga tidak akan menghancurkan toksin tersebut.
b) Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri Gram-positif yang dapat membentuk spora tahan panas, bersifat anaerobik, dan tidak tahan asam tinggi. Toksin yang dihasilkan dinamakan botulinum, bersifat meracuni saraf (neurotoksik) yang dapat menyebabkan paralisis. Toksin botulinum bersifat termolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80° C selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan.
Gejala keracunan: Gejala botulism berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda, tenggorokan dan hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Gejala dapat timbul 12-36 jam setelah toksin tertelan. Masa sakit dapat berlangsung selama 2 jam sampai 14 hari.
Penanganan: Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuh yang hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industri rumah tangga), misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.
Bakteri ini dapat mencemari produk pangan dalam kaleng yang berkadar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurang baik penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannnya telah menggembung.
c) Staphilococcus aureus
Terdapat 23 spesies Staphilococcus, tetapi Staphilococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan keracunan pangan. Staphilococcus aureus merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat, tergolong dalam bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk spora. Toksin yang dihasilkan bakteri ini bersifat tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak normal. Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Pangan yang dapat tercemar bakteri ini adalah produk pangan yang kaya protein, misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas; produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin, seperti salad, puding, dan sandwich; produk pangan yang terpapar pada suhu hangat selama beberapa jam; pangan yang disimpan pada lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang suhunya kurang rendah; serta pangan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu ruang.
Gejala keracunan: Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam, berupa mual, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal, demam ringan. Pada beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan perubahan tekanan darah.
Penanganan: Penanganan keracunannya adalah dengan mengganti cairan dan elektrolit yang hilang akibat muntah atau diare. Pengobatan antidiare biasanya tidak diperlukan. Untuk menghindari dehidrasi pada korban, berikan air minum dan larutan elektrolit yang banyak dijual sebagai minuman elektrolit dalam kemasan. Untuk penanganan leboih lanjut, hubungi puskesmas atau rumah sakit terdekat.
A. Infeksi
Bakteri patogen dapat menginfeksi korbannya melalui pangan yang dikonsumsi. Dalam hal ini, penyebab sakitnya seseorang adalah akibat masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh melalui konsumsi pangan yang telah tercemar bakteri. Untuk menyebabkan penyakit, jumlah bakteri yang tertelan harus memadai. Hal itu dinamakan dosis infeksi. Beberapa bakteri patogen yang dapat menginfeksi tubuh melalui pangan sehingga menimbulkan sakit adalah:
1) Salmonella
Salmonella merupakan bakteri Gram-negatif, bersifat anaerob fakultatif, motil, dan tidak menghasilkan spora. Salmonella bisa terdapat pada bahan pangan mentah, seperti telur dan daging ayam mentah serta akan bereproduksi bila proses pamasakan tidak sempurna. Sakit yang diakibatkan oleh bakteri Salmonella dinamakan salmonellosis. Cara penularan yang utama adalah dengan menelan bakteri dalam pangan yang berasal dari pangan hewani yang terinfeksi. Pangan juga dapat terkontaminasi oleh penjamah yang terinfeksi, binatang peliharaan dan hama, atau melalui kontaminasi silang akibat higiene yang buruk. Penularan dari satu orang ke orang lain juga dapat terjadi selama infeksi.
Gejala keracunan: Pada kebanyakan orang yang terinfeksi Salmonella, gejala yang terjadi adalah diare, kram perut, dan demam yang timbul 8-72 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Gejala lainnya adalah menggigil, sakit kepala, mual, dan muntah. Gejala dapat berlangsung selama lebih dari 7 hari. Banyak orang dapat pulih tanpa pengobatan, tetapi infeksi Salmonella ini juga dapat membahayakan jiwa terutama pada anak-anak, orang lanjut usia, serta orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh.
Penanganan: Untuk pertolongan dapat diberikan cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang. Lalu segera bawa korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.
2. Clostridium perfringens
Clostridium perfringens merupakan bekteri Gram-positif yang dapat membentuk endospora serta bersifat anaerobik. Bakteri ini terdapat di tanah, usus manusia dan hewan, daging mentah, unggas, dan bahan pangan kering. Clostridium perfringens dapat menghasilkan enterotoksin yang tidak dihasilkan pada makanan sebelum dikonsumsi, tetapi dihasilkan oleh bakteri di dalam usus.
Gejala keracunan: Gejala keracunan dapat terjadi sekitar 8-24 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar bentuk vegetatif bakteri dalam jumlah besar. Di dalam usus, sel-sel vegetatif bakteri akan menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat menyebabkan sakit. Gejala yang timbul berupa nyeri perut, diare, mual, dan jarang disertai muntah. Gejala dapat berlanjut selama 12-48 jam, tetapi pada kasus yang lebih berat dapat berlangsung selama 1-2 minggu (terutama pada anak-anak dan orang lanjut usia).
Penanganan: Tidak ada penanganan spesifik, kecuali mengganti cairan tubuh yang hilang. Tindakan pengendalian khusus terkait keracunan pangan akibat bakteri ini bagi rumah tangga atau pusat penjual makanan antara lain dengan melakukan pendinginan dan penyimpanan dingin produk pangan matang yang cukup dan pemanasan ulang yang benar dari masakan yang disimpan sebelum dikonsumsi.
3) Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli merupakan mikroflora normal pada usus kebanyakan hewan berdarah panas. Bakteri ini tergolong bakteri Gram-negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, kebanyakan bersifat motil (dapat bergerak) menggunakan flagela, ada yang mempunyai kapsul, dapat menghasilkan gas dari glukosa, dan dapat memfermentasi laktosa. Kebanyakan strain tidak bersifat membahayakan, tetapi ada pula yang bersifat patogen terhadap manusia, seperti Enterohaemorragic Escherichia coli (EHEC). Escherichia coli O157:H7 merupakan tipe EHEC yang terpenting dan berbahaya terkait dengan kesehatan masyarakat.
E. coli dapat masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui konsumsi pangan yang tercemar, misalnya daging mentah, daging yang dimasak setengah matang, susu mentah, dan cemaran fekal pada air dan pangan.
Gejala keracunan: Gejala penyakit yang disebabkan oleh EHEC adalah kram perut, diare (pada beberapa kasus dapat timbul diare berdarah), demam, mual, dan muntah. Masa inkubasi berkisar 3-8 hari, sedangkan pada kasus sedang berkisar antara 3-4 hari.
E. Faktor Penyebab dan Prevalensi Masalah
Beberapa kondisi penyebab timbulnya kejadian immunossupression, yaitu :
Rusaknya jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk / mendewasakan sel – sel yang berperan dalam respon kekebalan, misalny timus, bursa fabricius, sumsum tulang, limpa dan jaringan limfoid lainnya. Kerusakan jaringan ini bisa disebabkan oleh virus (reovirus, mareks disease virus, chicken anaemia virus, raussarcoma viruses, IBD virus) atau oleh toksin – toksin tertentu seperti aflatoksin dan toksin T2. Efek dari rusaknya jaringan limfoid selain dari mengecilnya jaringan limfoid itu sendiri, juga menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel darah putih secara keseluruhan, termasuk sel – sel limfoid dewasa yang beredar di dalam sirkulsi tubuh baik sistem peredaran darah maupun sistem peredaran limfe.
Rusaknya struktur dan fungsi fisiologis sel – sel darah putih termasuk sel limfosit. Kondisi ini dapat disebabkan juga oleh virus dan toksin, tergantung dari derajat keparahan infeksi ataupun level dan lamanya induk semang terinduksi oleh aflatoksin ataupun toksin T-2.
Walaupun struktur sel darah putih tidak terganggu, namun ada kalanya hanya fungsi fisiologisnya saja yang terganggu. Pada kondisi ini sel limfosit yang normal secara anatomis tidak memberikan respon tenggap kebal yang optimal secara fisiologis terhadap adanya induksi secara imunologik. Adair (1995) menyatakan bahwa kondisi imunosupresi juga dapat terjadi akibat terjadinya infeksi pada jaringan non limfosit seperti kelenjar tiroid. Kondisi ini berarti agen penyebabnya secara tidak langsung mengganggu reaksi imunologis.
Agen kimia penyebab immunosuppression : mikotoksin dan defisiensi nutrisi
Faktor penyebab lain yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, yaitu :
Overdosis pada gula : jumlah asupan gula yang tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat mengurangi kemampuan sel darah putih untuk membunuh kuman sebesar 40 persen. Efek penekanan kekebalan gula dimulai kurang dari 30 menit setelah konsumsi dan bahan berlangsung selama lima jam.
Minum alkohol berlebihan : dapat membahayakan sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan suatu kekurangan gizi secara keseluruhan dan mencabut tubuh nutrisi yang berharga, kemudian dengan minum alkohol yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan sel darah putih untuk membunuh kuman dan menekan kemampuan sel darah putih untuk berkembang biak menyebabkan kekebalan ditekan dan infeksi hati.
Makanan alergen : sistem kekebalan mengenali substansi dinyatakan tidak berbahaya sebagai penyerbu asing dan serangan itu, menyebabkan reaksi alergi. Setelah pertemuan dengan alergen makanan banyak, dinding rusak, memungkinkan penjajah dan zat beracun lainnya berpotensi dalam makanan untuk masuk ke aliran darah dan membuat tubuh merasa lelah.
Asupan tinggi lemak jenuh dan trans obesitas dapat menyebabkan sistem kekebalan yang lemah. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan sel darah putih untuk memperbanyak, memproduksi antobodi, dan mencegah peradangan.
Kekurangan jam tidur, dapat menyebabkan sistem kekebalan tertekan. Tubuh membutuhkan tidur untuk memulihkan energi yang habis terpakai dan memungkinkan sel-sel darah putih memperkuat diri.
Vitamin, nutrisi, dan vitamin mineral defisiensi, gizi dan kekurangan mineral mengurangi kadar oksigen dalam aliran darah yang penting untuk sel-sel tubuh kita dan meningkatkan resiko peradangan ghati, prostat, dll.
F. Upaya Intervensi Penanggulangan Masalah
Dalam upaya penanggulangan masalah dapat dilakukan pencegahan terhadap keracunan, yaitu memodikasi gaya hidup diantaranya :
Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan.
Mencuci tangan setelah menggunakan toilet.
Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan sebelum dan setelah digunakan.
Menjaga kebersihan tubuh yang baik dan olahraga teratur serta makanan sehat dan bergizi
Melindungi diri dari luka baik goresan, luka bakar dan luka luar
Hindari kontak dengan potensi sumber infeksi
Menjaga area dapur atau tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan lainnya. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan pangan mentah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam kaleng yang kalengnya telah rusak atau menggembung.
Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
Tidak memberikan madu pada anak yang berusia di bawah satu tahun untuk mencegah terjadinya keracunan akibat toksin dari bakteri Clostridium botulinum.
Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri dapat terbunuh. Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian pusat pangan mencapai suhu aman (>700C) selama minimal 20 menit.
Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari pendingin (sebaiknya suhu penyimpanan di bawah 50C).
Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena mikroba dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.
Mempertahankan suhu pangan matang lebih dari 600C sebelum disajikan. Dengan menjaga suhu di bawah 50C atau di atas 600C, pertumbuhan mikroba akan lebih lambat atau terhenti.
Menyimpan produk pangan yang harus disimpan dingin, seperti susu pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah dalam lemari pendingin.
Menyimpan produk pangan olahan beku, seperti nugget, es krim, ayam goreng tepung beku, dll dalam freezer.
Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin.
Tidak membiarkan pangan beku mencair pada suhu ruang.
Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum digunakan, terutama yang dikonsumsi mentah.
Terapi Immunosuppression perlu dilakukan untuk menekan fungsi imun yang berlebihan. Sistem imun tubuh dapat membedakan antara antigen diri (self antigen) dengan antigen asing (non – self antigen). Dalam keadaan normal sistem imun mempertahankan fungsi fisiologis terhadap berbagai perubahan dari luar. Jika suatu antigen asing masuk ke dalam tubuh akan timbul respons imun, tetapi pada keadaan tertentu dapat tidak timbul respons imun. Suatu antigen disebut imunogen bila mampu membangkitkan respons imun, jadi bersifat imunogenik. Sebaliknya jika tidak menimbulkan respons imun disebut tolerogenik dan menimbulkan imunotoleransi.
Pada keadaan tertentu respons imun dapat memberikan keadaan patologik misalnya pada keadaan hipersensitivitas atau juga dapat ditimbulkan oleh karena gangguan regulasi sistem imun, autoimunitas, dan defisiensi imun. Imonomodulasi adalah usaha untuk mengembalikan dan memperbaiki keadaan patologik tersebut menjadi normal kembali dengan cara menekan fungsi imun yang berlebihan (imunosupresi), atau memperbaiki sistem imun dengan merangsang sistem imun (imunopotesiasi).
G. Keracunan Makanan dan Immunosuppression
Keracunan makanan, biasanya disebabkan karena mengkonsumsi makanan & minuman yang telah terkontaminasi dengan bakteri, parasit atau virus. Bahan kimia berbahaya juga dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan jika mereka mengkontaminasi makanan baik saat panen ataupun proses lainnya. Gejala umum dari keracunan makanan adalah sakit perut, diare, muntah-muntah, bahkan bisa menyebabkan kematian. Keracunan makanan sering terjadi ketika seseorang mengonsumsi makanan yang mengandung racun seperti bakteri, virus atau parasit. Menurut CDC, di Amerika diperkirakan terdapat 76 juta orang yang mengalami kasus keracunan makanan setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 5000 orang meninggal dunia.
Penyebab keracunan makanan adalah:
a) Virus : Norovirus, Rotavirus, Hepatitis A
b) Bakteri : Salmonella, Campylobacter, Escherichia coli (E coli), Shigella (traveler’s diarrhea), Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum (botulism), Vibrio parahaemolyticus, Vibrio cholerae
c) Bahan Lain : Jamur beracun, Keracunan ciguatera, Pestisida
Gejala akibat keracunan makanan, yaitu:
a) Kram perut
b) Mual
c) Muntah
d) Diare, kadang bercampur dengan darah
e) Demam
f) Dehidrasi
3. Pencegahan Keracunan Makanan
Ada enam langkah mencegah keracunan makanan diantaranya yaitu:
a) Pemilihan bahan makanan
b) Penyimpanan makanan mentah
c) Pengolahan bahan makanan
d) Penyimpanan makanan jadi
e) Pengangkutan
f) Penyajian makanan kaya serat, terlalu banyak gula, pedas, minuman kafein dan soda.
4. Penanganan Kasus Keracunan dapat dilakukan sebagai berikut:
a) Pemberian obat anti muntah & diare
b) Bila terjadi demam dapat juga diberikan obat penurun panas
c) Antibiotika jarang d iberikan untuk kasus keracunan makanan karena pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk keadaan. Hanya pada kasus tertentu yang spesifik, antibiotika diberikan untuk memperpendek waktu penyembuhan
d) Bila mengalami keracunan makanan karena jamur atau bahan kimia tertentu (pestisida). Penanganan yang lebih cepat harus segera diberikan, termasuk diantaranya pemberian cairan infus, tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa ataupun pemberian penangkal racunnya seperti misalnya karbon aktif. Karena kasus keracunan tersebut sangat serius, sebaiknya penderita langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang tepat.
H. Contoh – contoh Kasus Terkait dengan Immunosuppression
Agen penyakit yang bersifat immunosupression antara lain :
Marek’s
Marek’s atau fowl paralysis, neurolymphomatosis, acute leukosis merupakn penyakit viral yang sangat menular. Penyebabnya adalag virus herpes yang memiliki struktur DNA. Sebagai penyakit immunosuppression, virus marek’s mempunyai target utama merusak sel limfosit T pembantu (Th), sel limfosit T sitotoksik dan sebagian kecil sel limfosit B. Selain itu, terjadi pengecilan bursa fabricius, thymus dan limpa yang merupakan pabrik sel limfosit T dan B. Kasus serangan Marek’s yang berat bisa menyebabkan degenerasi sumsum tulang belakang yang menjadi awal pembentukan sel bakal bagi sel limfosit.
Avian Leukosis
Merupakan penyakit tumor yang menyebabkan kerusakan pada organ limfoid primer. Avian leukosis disebabkan infeksi virus retrovirus yang mempunyai target utama merusak sel limfosit B matang yang telah mempunyai IgM terikat membran. Selain itu, adanya replika retrovirus pada bursa fabricius dn limp menyebabkan kedua organ limfoid ini menjdi kisut (atropi). Kerusakan kedua organ limfoid tersebut sekaligus kerusakan sel limfosit B matang akan menyebabkan menjadi terganggu.
Gumboro
Penyakit yang pertama kali terjadi di wilayah Gumboro, Delaware Amerika Serikat ini menjadikan sel limfosit B dan makrofag serta organ limfoidnya sebagai target utama infeksi. Sel limfosit B matang dan makrofag di jaringan usus menjadi sel yang terlebih dahulu terinfeksi virus Gumboro. Kemudian virus Gumboro secara sistematik menyebar sampai ke berbagai organ terutama bursa fabricius.
Adapun contoh dari kondisi dan penyakit yang dapat menyebabkan gangguan immunodefisiensi dalam kasus – kasus yang telah terjadi :
Ataksia – telangiectasia
Sindrom Chediak- Higashi
Penyakit imunodefisiensi gabungan
Hypogamaglobulinemia
Sindrom Job
Cacat adhesi leukosit
Panhypogammaglobulinemia
Penyakit Bruton
Agammaglobulinemia kongenital
Defisiensi selektif IgA
Sindrom Wiscott-Aldrich
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Immunosuppression merupakan kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit – penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Gangguan sistem imun meliputi gangguan limfosit T dan B, gangguan makrofag (inflamasi), gangguan sistem komplemen maupun gangguan imunitas sistemik. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolik dan menurunnya absorpsi zat gizi.
Keracunan pangan adalah masuknya atau adanya kandungan zat – zat berbahaya yang ada di dalam bahan pangan sehingga merusak tau mengurangi fungsi dari bahan pangan tersebut. Pangan merupkan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakityang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Seringkali diberitakan terjadinya keracunan pangan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan jajanan, makanan catering, bahkan pangan segar. Terdapat tiga faktor kunci yang umumnya menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan akibat bakteri, yaitu kontaminasi – bakteri patogen harus ada dalam pangan ; pertumbuhan – dalam beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk menimbulkan penyakit ; daya hidup (survival) – jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri patogen harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan dan pengolahannya.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki
Gizi Kesehatan Masyarakat (Public Health Nutrition). 2009. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Seto, Sagung. Pangan dan Gizi, Ilmu Tekologi Industri dan Perdagangan Internasional. 2001. IPB, Bogor.
Penuntun Diet Instalasi Gizi Perjan Rumah Sakit DR Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G. Kimia Pangan dan Gizi. 2004. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tim Saraswati. Rainbow Diet. 2008. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/pdf
Sandilee7.wordpress.com
“Defisiensi Sistem Imun” temankuyangsempurna.blogspot.com
“Immunosuppression” orangefruitsweet.blogspot.com
Dischanunut.blogspot.com/2012/06